10 November 2012

Uban


Menjelang usia lima puluh tahun, semburat abu-abu semakin memutih di sela-sela rambut hitam di kepala saya. Selamat datang uban! Akhirnya saya beruban juga dan merasa bahagia karenanya.

Ya, uban akan sedikit mengeliminasi rasa kesal, jengkel, dan tak jarang sikap konyol saya, ketika orang-orang tua [yang terkadang usianya tidak terpaut banyak dengan saya] gemar memanggil saya, “Nang! Nyo! Nak! Cung!...”


Itu semua mengindikasikan bahwa saya ini anak lelaki belasan tahun, yang baru akil balik. Ah, saya ini sudah 48 tahun! Uban, setidaknya akan menyelamatkan saya dari sapaan satiris dan kekasaran verbal yang samar-samar itu. Uban akan mempertegas eksistensi saya sebagai lelaki setengah baya.... Ups!

Kata pakar, uban atau rambut putih tumbuh karena tubuh kita tidak lagi memproduksi melanin—senyawa yang berfungsi sebagai pigmen—, bisa karena usia, hormon, atau faktor lainnya.

Uban kita perlakukan secara dikotomis, ada yang resah menolak, ada juga yang riang menerima. Pro atau kontra, uban tetap hadir di kepala kita. Anda mau senang atau cemberut, uban nongol di antara rambut. Apakah Anda bangga atau malu, mengapa?

Mungkin Anda seperti saya, yang menerima uban. Setidaknya uban membiaskan raut wajah kita terlihat lebih tua, tampak lebih dewasa, meski harus disadari bahwa rambut putih bukan ukuran kita dikatakan dewasa.

Uban membuat saya terlihat lebih tua, dan saya memang tidak pernah menolak menjadi tua. Ada orang yang menanti tua, matang, dan dewasa; tetapi ada banyak yang tidak ingin terlihat tua, ingin tetap awet muda. Ingin ranum sepanjang masa. Kulit tidak keriput dan rambut tidak beruban.

Nah, Anda yang tidak senang [terlihat] tua, pasti dengan cara-cara jitu sudah berhasil [untuk sementara waktu] menyamarkan uban. Anda bisa menghitamkan rambut putih dengan berbagai metode yang disarankan oleh penata rambut.

Anda bisa memelanin uban di rumah, atau menyemir rambut dan creambath di salon. Bahkan ada juga yang sampai nekat mencabuti uban. Tragisnya, semakin uban dicabut, konon uban-uban itu akan semakin merebak banyak. Cabut saja terus... akhirnya Anda benar-benar tidak beruban, juga tidak berambut hitam lagi alias gundul!

Saudaraku, sangat asasi sikap Anda dan saya terhadap uban. Saya memilih untuk menyambut hangat tumbuhnya uban. Anda mungkin satu dari berjuta pria dan wanita yang berhasrat kuat menyingkirkan uban. Tidak ada masalah, manusiawi, dan yang penting keputusan itu berkenan di hati Anda.

Selama sikap Anda menyamarkan uban sebatas kepentingan kosmetika, atau sejauh ingin tampil awet muda, saya rasa masih sehat. Namun, jangan sekali-kali memandang uban sebagai aib atau nasib buruk yang harus ditutupi.

Uban bukan suatu anomali, itu wajar dan alamiah. Kita seharusnya mengucap syukur kepada Tuhan dan bersahabat dengan uban. Kita juga harus percaya diri meski beruban, tidak usah menipu diri dengan menolak agresi uban di rambut kita.

Percayalah, beruban tetap membuat kita cantik dan tampan. Ingatlah kata-kata bijak ini: “Hiasan orang muda ialah kekuatannya, dan keindahan orang tua ialah uban.” —Agus Santosa

Uban itu anugerah yang indah dari Tuhan, bersyukurlah!

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 10/11/2012 (diedit seperlunya)

==========

07 November 2012

Nyala Api Cinta


Seorang teman mengenang masa pacarannya dengan takjub. Ia dulu bekerja di Bandung, dan pacarnya tinggal di Solo. Minimal sekali sebulan ia harus menempuh perjalanan selama delapan jam dengan kereta api untuk bisa bertemu dengan kekasihnya.

"Saat itu rasanya tidak berat sama sekali, justru saya sangat bersemangat," tuturnya. "Lucunya, setelah menikah saya merasa berat kalau harus pergi ke Solo," lanjutnya sambil tertawa.

Cinta membuat apa yang kita lakukan terasa berbeda. Hal-hal yang berat terasa ringan. Kesusahan rasanya hanya sebentar, tak sebanding dengan kesukaan bersama orang yang dicinta.


Tak heran Salomo (Nabi Sulaiman) melukiskan cinta yang bergairah itu seperti maut yang tak dapat dihalang-halangi. Seperti nyala api yang tak bisa dipadamkan, bahkan seperti nyala api Tuhan!

Api kecil bisa dipadamkan dengan siraman air, tetapi bukan itu yang ia bicarakan. Masih ingatkah kisah Nabi Elia yang menyiram korban persembahannya dengan banyak air?

Nyala api Tuhan bukan saja membakar habis persembahan itu, tetapi juga parit-parit penuh air di sekitarnya. Cinta membuat semangat tetap bergelora, sekalipun kenyamanan dan kemewahan tiada.

Ketika dampak dahsyat cinta tak lagi terlihat, kita mulai bertanya, apa yang berubah? Apakah cinta mula-mula itu masih ada?

Pernahkah pertanyaan serupa kita ajukan dalam hubungan dengan Tuhan? Apakah cinta mula-mula itu masih ada? —HAN

Ketika kita mengasihi Tuhan, kesusahan terasa ringan dibanding kesukaan bersama-Nya.

* * *

Sumber: e-RH, 7/11/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Nyala Cinta Kita

==========

05 November 2012

Indahnya Cinta


Bukan kebetulan cinta menghinggapi manusia. Tuhanlah yang menciptakannya. Perintah pertama dan utama-Nya adalah agar manusia mencintai-Nya dengan segenap hati, jiwa, dan kekuatan.

‘Kidung Agung’ adalah kitab yang paling gamblang mengekspresikan cinta, karena memang ditulis sebagai syair-syair cinta oleh Raja Salomo (Sulaiman). Kitab ini adalah salah satu tulisan suci yang dibacakan pada hari raya Paskah umat Yahudi.

Para penafsir sepakat bahwa kitab ini memberikan model seksualitas yang sehat sebagaimana rancangan Tuhan, yaitu hubungan antara laki-laki dan perempuan (bukan antara sesama jenis), dan dinikmati dalam ikatan pernikahan yang kudus.


Meski kitab ini secara unik mengangkat hubungan kasih dalam pernikahan, ada banyak hal yang dapat direnungkan dalam konteks hubungan kita dengan Tuhan.

Betapa kita terpesona melihat cinta yang berkobar hebat di antara kedua mempelai. Sosok dan keindahan dari yang terkasih membayang ke mana pun pergi. Waktu-waktu bersama begitu menggairahkan, begitu dinanti. Pernahkah cinta kita kepada Tuhan berkobar sedemikian hebat?

Pikirkan saja waktu-waktu teduh kita (ketika kita membaca dan merenungkan firman Tuhan). Apakah dilalui dengan gairah dan kerinduan untuk bertemu Tuhan? Ataukah itu rutinitas yang ingin kita lewati dengan cepat saja?

Apakah keindahan pribadi dan karya Tuhan adalah hal-hal yang senang kita renungkan ketika menjalani hari-hari kita, ataukah kita terlalu sibuk sehingga tak sempat memikirkan-Nya?

Diiringi syukur atas cinta yang Tuhan karuniakan dalam relasi kita dengan orang-orang terkasih, mari memeriksa temperatur cinta kita kepada Tuhan. –HAN

* * *

Sumber: e-RH, 5/11/2012 (diedit seperlunya)

Judul asli: Indahnya Cinta Kita

==========

Artikel Terbaru Blog Ini