25 Maret 2013

Terus Bergerilya


Perang Dunia II telah usai. Namun, Letnan Dua Hiroo Onoda, prajurit Jepang yang bertugas di Pulau Lubang, Filipina, tidak percaya. Ia memilih bersembunyi di hutan.

Ia menganggap selebaran, surat, foto, atau koran yang dijatuhkan dari pesawat terbang sebagai tipu muslihat musuh. Selama hampir 30 tahun ia terus berjuang sebagai gerilyawan.

Pada 1974, seorang mahasiswa Jepang melacak jejaknya dan menemukannya. Namun, ketika diajak pulang, Onoda menolak.

Hiroo Onoda saat Perang Dunia II (1944), dan 30 tahun kemudian (1974) setelah ditemukan.

Akhirnya, pemerintah Jepang mengutus mantan komandan Onoda, Mayor Yoshimi Taniguchi, mendatangi dan memerintahkannya untuk meletakkan senjata. Barulah Onoda menurut dan bersedia pulang ke negerinya.

Hidup Onoda pun berubah. Ia tidak lagi menyerang para petani Filipina. Dan, di Jepang, ia menggalang dana beasiswa bagi anak-anak para petani itu.

Pada 1996 ia berkunjung kembali ke Pulau Lubang dan menyerahkan sumbangan sebesar 10.000 dolar untuk sekolah setempat.

Ia berterima kasih kepada penduduk pulau itu, yang membiarkannya terus hidup selagi ia bersikeras tetap menjadi prajurit gerilya walaupun perang telah usai.

Hiroo Onoda pada masa tuanya.

Kesadaran akan identitas diri kita tak ayal memengaruhi perilaku kita. Sebagai umat yang telah dipanggil Tuhan dan dimerdekakan dari belenggu dosa, kita perlu memiliki cara hidup yang baru, yaitu cara hidup yang selaras dengan panggilan itu.

Ya, alih-alih terus berkutat dengan dosa, bukankah sepatutnya kita bersukacita merayakan kemerdekaan yang telah dianugerahkan-Nya dengan penuh rasa syukur?

* * *

Penulis: Arie Saptaji | e-RH, 25/3/2013

Judul asli: Masih Bergerilya

(diedit seperlunya)

==========

23 Maret 2013

Kekayaan


Fortune adalah majalah bisnis di Amerika yang didirikan oleh Henry Luce pada 1930. Majalah ini dikenal oleh masyarakat dunia karena kerap menuliskan daftar orang terkaya di dunia.

Daftar tersebut selalu menimbulkan daya tarik tersendiri bagi orang banyak. Mungkin karena kekayaan adalah hal yang selalu dicari oleh manusia.


Alkitab sendiri tidak mencatat bahwa kekayaan atau menjadi kaya itu salah. Justru Alkitab mencatat kekayaan sebagai salah satu berkat dari Tuhan.

Akan tetapi, apabila kita tidak berhati-hati, kekayaan dapat mengarahkan hati kita pada kesombongan dan makin menjauh dari Tuhan seperti yang dilakukan oleh bangsa Israel pada zaman Nabi Yesaya.

Pada saat itu bangsa Israel sedang berada dalam kondisi makmur. Namun, kondisi tersebut tidak membuat mereka bersyukur kepada Tuhan. Mereka malah menjauh dari Tuhan, menyembah berhala, dan menjadi sombong. Allah pun menegur dan menghukum mereka.

Berhati-hati dan waspadalah terhadap kekayaan. Prinsip yang mengatakan bahwa "segala sesuatu bisa dilakukan asal ada uang" memang banyak berlaku di mana-mana.

Prinsip itulah yang biasanya membuat diri kita merasa mampu melakukan segala sesuatu tanpa pertolongan Tuhan, dan akhirnya membuat kita menjauh dari-Nya serta menjadi sombong takabur.

Menjadi kaya bukanlah hal yang keliru. Akan tetapi, kita harus memandang kekayaan sebagai berkat atau pemberian dari Tuhan. Karena hanya dengan cara itulah kita dapat bersyukur kepada Tuhan dan menjaga hati kita untuk tidak sombong. —RY

Menjadi kaya bukan dosa tetapi mencari dan memakai kekayaan dengan cara yang salah, itu dosa.

* * *

Sumber: e-RH, 21/6/2011 (diedit seperlunya)

==========

08 Maret 2013

Istirahat


Berapa banyak di antara kita yang saat ini disibukkan oleh berbagai pekerjaan, pelayanan, urusan keluarga, relasi sosial, dan hal-hal lain? Disadari atau tidak, diakui atau tidak, banyak di antara kita dewasa ini yang sangat sibuk sampai-sampai tidak bisa beristirahat atau hanya memiliki sedikit waktu untuk beristirahat.

Kerja... kerja... dan kerja. Aktivitas demi aktivitas datang silih berganti atau malah bersamaan. Tak heran jika orang lantas cenderung menjadi gampang tersinggung, kesal, dan marah, menderita sakit kepala, sakit punggung, selalu merasa lelah, penat, letih, lesu, tak berdaya, dan kehilangan minat.

Hati-hati jika kita telah menunjukkan tanda-tanda itu, sebab kita mungkin sudah mengalami suatu kondisi yang oleh Herbert Freudenberger dikategorikan sebagai burnout, yaitu kelelahan fisik, emosional, dan mental.


Gejala lain dari burnout antara lain: sukar tidur, mengalami gangguan pencernaan, merasa sedih, enggan berangkat kerja, sering absen, menarik diri, sinis, merasa gagal, merasa ragu-ragu, kehilangan motivasi, berprasangka, butuh waktu lebih lama untuk melakukan tugas, lari dari tanggung jawab.

Banyak hal yang bisa menyebabkan orang mengalami burnout, antara lain: terlalu banyak kerja tanpa cukup waktu untuk relaksasi dan sosialisasi, tidak cukup tidur, pekerjaannya kurang diakui atau kurang dihargai, terlalu dituntut, rutinitas, dan perfeksionis.

Burnout memang tidak terjadi dalam semalam. Itu merupakan proses yang berangsur-angsur terjadi dalam jangka waktu tertentu. Jika kita tidak memedulikan tanda peringatan, maka keadaan akan menjadi semakin buruk.

Apa yang Anda cari dalam hidup ini dengan jerih payah Anda? Kesuksesan, kekayaan, prestasi, kemuliaan, kebahagiaan? Janganlah terlalu kejam kepada diri sendiri. Ambillah waktu untuk beristirahat.

Nikmatilah hidup yang diberikan Tuhan. Syukurilah segala sesuatu yang telah diberikan Tuhan dalam hidup kita. Upayakan untuk menjaga keselarasan atau keseimbangan hidup: bekerja, beraktivitas, istirahat, bersantai, berolahraga, dan bersaat teduh.

* * *

Penulis: Liana Poedjihastuti

Sumber: KristusHidup.org, 8/3/2013

(diedit seperlunya)

==========

07 Maret 2013

Dunia Gemerlap


Sekitar setahun saya bekerja di sebuah majalah gaya hidup. Beberapa kali saya ditugaskan meliput acara sosial yang dihadiri kaum jetset Jakarta.

Tamu acara ini biasanya tampil dengan pakaian dan aksesoris rancangan desainer ternama, menenteng tas bermerek terkenal, dan mengenakan sepatu berharga jutaan rupiah.


Belakangan saya mendapat info, sebagian dari tamu tersebut bukanlah kaum sosialita betulan. Mereka hanya meminjam perlengkapan mewah itu dari tempat persewaan.

Obsesinya? Agar dianggap keren, bisa masuk ke lingkaran pergaulan jetset, difoto dan ditampilkan dalam majalah gaya hidup.

Obsesi manusia akan penampilan yang gemerlap bukanlah barang baru. Kaum Farisi ribuan tahun yang lalu sudah dikenal sangat memerhatikan pernak-pernik penampilan ini.

Saat berpuasa, mereka memastikan diri tampil dengan gaya yang menunjukkan kekhusyukan ibadah mereka. Dalam ritual pentahiran yang kerap mereka lakukan, berbagai cawan dan pinggan dibersihkan hingga berkilau.

Cawan yang hanya dibersihkan bagian luarnya, dan kuburan yang dilabur putih (pada zaman itu kuburan ditandai dengan warna putih agar tidak disentuh orang) adalah metafora untuk orang yang hanya memerhatikan hal-hal lahiriah, tetapi lupa bahwa Tuhan melihat hati.

Penampilan luar tentu perlu dijaga, namun jangan untuk pamer atau menutupi kedangkalan rohani. Marilah kita mengutamakan hal-hal yang bermakna dan berharga di mata Tuhan.

Manusia kerap melihat kemolekan kulit, tetapi Tuhan menilai keelokan hati.

* * *

Penulis: Olivia Elena

Sumber: e-RH, 7/3/2013

(diedit seperlunya)

==========

05 Maret 2013

Curang


Dalam sebuah perjalanan dengan kereta api dari Semarang ke Jakarta, saya menyaksikan sebuah iklan layanan masyarakat tentang praktik berdagang yang jujur.

Di situ digambarkan ada seorang ibu yang membeli gula di pasar. Setelah menerima barangnya, si ibu curiga bahwa gula yang ia terima lebih sedikit daripada yang seharusnya.

Maka, ia pergi ke pos uji ulang yang ada di pasar itu. Ternyata benar bahwa ia telah ditipu. Ia pun kembali kepada pedagang yang menjual gula kepadanya dan memperingatkan konsekuensi hukum bagi mereka yang berdagang dengan timbangan yang curang.

Tuhan juga sangat peduli dengan praktik bisnis yang jujur. Kita baca di Kitab Suci bagaimana Tuhan marah kepada orang-orang yang melakukan kecurangan dalam menjalankan usaha. Baik itu dengan menggunakan takaran yang kurang, timbangan yang menipu, tindak kekerasan, maupun perkataan dusta.


Atas kecurangan ini, Tuhan menyatakan penghukuman dengan menarik berkat-berkat-Nya atas mereka.

Dalam menjalankan sebuah usaha, memang kita berusaha mencari keuntungan. Akan tetapi, umat Tuhan harus melakukannya dengan cara yang jujur dan menjadi berkat bagi orang lain. Sebab, Tuhan jijik terhadap praktik-praktik curang.

Bahkan, hukum juga memandang kecurangan sebagai pelanggaran. Dalam etika dunia usaha pun, meski mungkin sempat mendapat untung lebih besar, mereka yang suka menipu akhirnya akan ditinggalkan oleh para pelanggan.

Jadi, jalankanlah setiap usaha kita dengan jujur. Dan, jadilah berkat lewat cara kita menjalankan usaha. —ALS

Tak ada guna curang demi mendapat keuntungan lebih, sebab sesudahnya hati kita tak akan tenteram.

* * *

Sumber: e-RH, 12/5/2011 (diedit seperlunya)

==========

Artikel Terbaru Blog Ini