30 Oktober 2012

Bibir Manis


Alkisah seorang pengacara berselingkuh di dalam mobil pribadinya dengan seorang perempuan. [Maaf, fragmen selanjutnya dari episode ini tidak saya ceritakan.]

Keesokan harinya, istri pengacara itu menemukan celana dalam perempuan di jok belakang mobil. Spontan sang istri melabrak suaminya sambil mengibas-ngibaskan celana dalam itu... marah dan energinya ditumpahkan dengan sumpah serapah.

Sang pengacara sangat tenang menghadapi istrinya yang sedang kalap. Ia menjawab singkat seraya menahan emosi, tegas berkata dengan manis, “Sayang, tenanglah, itu tidak membuktikan aku selingkuh... kamu justru sudah memusnahkan barang bukti untuk kasus miliaran rupiah. Sekarang ada sidik jarimu di celana dalam itu, kamu sudah menghancurkan kasusku...!”

Istri pengacara itu terdiam sejenak, ia merasa bersalah, lalu menangis dan meratap dalam kebimbangan.

Ahh... yang salah “menang”, yang benar “kalah”! Kata-kata manusia terkadang tidak mewakili yang tepat dan benar, tetapi membangun sendiri “kebenaran”.

Kata-kata bisa saja meluncur lewat kemarahan, juga bisa mengalir dari bibir manis. Lewat serapah ataupun sanjungan, kata-kata bisa menindas dan memanipulasi.


Bibir manis tidak tulus, ada yang berhasrat agar diterima dan mendapat pengakuan, atau memburu kemenangan. Sejatinya kata-kata yang keluar dari bibir manis itu merupakan manifestasi penindasan yang ramah, taktik mengeruhkan kesadaran orang lain agar bimbang dan ragu menilai kebenaran.

Di negara kita tidak sedikit perkara yang membuat khalayak (kita semua) gamang menilai siapa yang benar, sebab ada banyak kasus kriminal, politik, dan korupsi yang “menang” dengan melacurkan yang benar. Ada banyak immoralitas dibungkam dengan bersilat lidah, keadilan dibakar hitam legam serupa dengan kejahatan.

Siapakah Anda? Tetaplah menjadi orang yang menghormati Tuhan dengan berkata benar. Jika Anda gelisah karena kata-kata yang dilantunkan para pendusta, teduhkanlah hati dan pikiran Anda dengan kembali kepada firman Tuhan.

Kata-kata Tuhan itu seperti perak murni yang sangat berharga dan kekal. —Agus Santosa

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 30/10/2012 (dipersingkat)

==========

21 Oktober 2012

Master Chef


Kemarin saya menonton acara Master Chef 2 di televisi. Menurut saya acara ini masih jauh lebih bagus, daripada sinetron-sinetron yang cenderung kurang mendidik.

Ada satu hal yang menarik pada episode yang saya lihat ini, yaitu ketika peserta memasuki “pressure test” di mana dia harus berjuang agar tidak menjadi peserta yang harus pulang, jika masakannya tidak berhasil.

Salah satu peserta menjadi pemenang dalam challenge sebelumnya, sehingga dia mendapat hadiah boleh meminta bantuan sesama peserta dalam “pressure test”.

Akhirnya, si peserta ini pun meminta bantuan temannya yang dianggap bisa. Namun ternyata, peserta yang telah meminta bantuan temannya ini pun terpaksa pulang, karena hasil masakannya kurang memuaskan.

(Master Chef 2)

Tentu hal itu menjadi dilema tersendiri bagi teman yang sudah membantunya, karena hasilnya, teman yang dibantunya harus pulang. Selain itu, bagi peserta yang sudah meminta bantuan, tentu merasa kecewa, karena teman yang diharapkan bisa membantunya pun tidak membuahkan hasil manis.

Peristiwa ini, tentu memberikan pelajaran kepada saya dan kita semua, bahwa terkadang memang kita tidak bisa terlalu mengharapkan bantuan dari orang lain.

Semestinya, kita percaya pada kemampuan kita, dan kepada Tuhan, satu-satunya sumber kekuatan. Jika kita terlalu memercayakan diri kepada pihak lain, selain Tuhan, kita akan menemui kekecewaan. —Elisa Christanto

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 21/10/2012 (dipersingkat)

==========

20 Oktober 2012

Korupsi atau Komisi


Tak dapat dipungkiri, hidup dari zaman ke zaman semakin sulit. Secara khusus, kesulitan-kesulitan tersebut sering menimpa kaum pekerja menengah ke bawah. Apalagi dengan realitas bahwa pada saat ini biaya kebutuhan hidup begitu meningkat, namun pendapatan tetap saja tak beranjak naik sedikit pun.

Dengan kenyataan seperti itulah, sering membuat banyak orang menjadi putus asa, dan jika sudah putus asa maka hal apa pun dapat dilakukan oleh seseorang, apalagi ada begitu banyak godaan di tempat kerja, yang dapat membuatnya terjatuh ke dalam dosa.

Edi, seorang office boy di perusahaan tempat saya dulu pernah bekerja, mengalami hal ini. Sebagai seorang office boy, tentu tugas Edi adalah disuruh-suruh. Misalnya saja, disuruh membelikan makan siang karyawan, membelikan perlengkapan kantor, dan lain sebagainya.

Saya adalah salah satu karyawan yang sering menyuruhnya membelikan makan siang, karena bagi saya jam istirahat lebih asyik dan nyaman jika saya gunakan untuk memejamkan mata sejenak di ruangan yang sejuk ber-AC, daripada harus ke luar kantor di tengah panasnya terik matahari.

Pada suatu ketika, Edi tidak masuk karena sakit. Maka pada hari itu, dengan terpaksa saya pergi ke luar untuk mencari makan siang di warung Padang, di mana seperti biasa Edi membelikannya untuk saya.

(masakan Padang)

Betapa terkejutnya saya, pada saat saya membayar nasi Padang dengan lauk daging rendang, ternyata saya hanya membayar Rp 5.000,00 (pada saat itu), padahal jika Edi yang membelikannya, saya harus membayar Rp 6.500,00.

Untuk itulah, keesokan harinya pada saat Edi sudah masuk, saya bertanya kepadanya, “Lho Ed, saya kemarin beli nasi rendang kok cuma Rp 5.000,00 tapi kalau kamu yang beli kok Rp 6.500,00?”

Apa jawab Edi? Dengan enteng dia menjawab, “Kan kalau saya yang beli ada komisinya, Pak.” Sungguh, saya sangat terperanjat dengan jawaban Edi. Tidak usah dia “main petak umpet” korupsi, sebetulnya saya sudah sering memberikan uang lebih kepadanya.

Itulah faktanya. Banyak orang yang lupa bahwa dia seharusnya hidup dalam kejujuran, serta tidak tergoda untuk berbuat kecurangan. Marilah kita menjadi orang yang jujur dan tidak mengambil atau memakan apa yang bukan menjadi hak kita. —Pdt. David Nugrahaning Widi

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 20/10/2012 (dipersingkat)

==========

08 Oktober 2012

Pakaian


Tentang pakaian, ada orang yang sesuka hati saja. Dia bisa memakai pakaian yang disukainya sampai kusam, hilang warnanya, atau sedikit sobek. [Maaf, itu contoh yang buruk dalam hal fashion.]

Juga tentang pakaian, seorang dosen berkata, “Saya paling tidak peduli mahasiswa masuk kelas saya memakai sandal jepit dan kaos oblong, asalkan mereka datang kuliah membawa ‘otak’ mereka.”

Masih tentang pakaian, konon ada seorang pekebun kayu sengon yang mengenakan sarung dan kopiah lusuh. Ia disangka pengemis sehingga diusir oleh karyawan showroom mobil, padahal dia hendak membeli mobil niaga.


Para pakar fashion meyakini, pakaian itu mengekspresikan pribadi seseorang. Pakaian rapi yang Anda kenakan mencerminkan diri sebagai pribadi yang rapi dalam bekerja, bahkan hidup pun tertata rapi, benarkah?

Ada yang menilai pakaian itu simbol prestise sosial, tak heran kalau brand atau merek ternama menjadi ikon masyarakat kelas atas.

Pakaian dinas juga dianggap sebagai simbol otoritas dalam masyarakat, seperti kata Erich Fromm, “Otoritas yang nyata (dianggap nyata) dialihkan pada pakaian dinas... meski pakaian dinas itu tidak selalu mewakili kualitas kompetensi seseorang.”

Pakaian lazim dijadikan simbol otoritas, prestise sosial, dan identitas seseorang. Anda mungkin termasuk orang yang respek fashion, memberi perhatian ekstra pada pakaian yang Anda dan orang lain kenakan.

Itu hak asasi, tetapi apakah sikap dan reaksi Anda juga asasi (bersifat mendasar)? Apakah orang-orang berpakaian mahaltentu saja indah, modis, dan bagusyang selalu menyita prioritas dan rasa hormat Anda? Apakah Anda merasa tidak nyaman bergaul, atau terbiasa memicingkan mata kepada yang berpakaian biasa-biasa saja?

Sebuah nasihat bijak mengatakan agar kita tidak menilai orang lain berdasarkan pakaiannya. Di mata Tuhan kita itu sama, entah mengenakan pakaian bermerek, seragam tentara, ataupun kaos oblong. Kita semua diperlakukan istimewa oleh Tuhan, tidak dibedakan berdasarkan pakaian yang kita kenakan.

Mungkin “benar” pakaian bisa merepresentasikan seseorang itu kaya atau miskin, bos atau jongos, tetapi tidak benar jika kita hanya mengasihi yang berpakaian indah, hanya menghormati yang berpakaian dinas.

Janganlah kita menghakimi ataupun memuliakan seseorang karena pakaian. “Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan, dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian?” Hargailah orang lain karena dia adalah pribadi yang harus dihargai. —Agus Santosa

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 8/10/2012 (diedit seperlunya)

==========

07 Oktober 2012

Kelestarian Lingkungan


Hingga kini manusia belum mengetahui jumlah seluruh jenis atau spesies binatang. Camilo Mora, seorang biolog dari Universitas Dalhousie, Kanada, dan beberapa rekan ilmuwannya, memperkirakan terdapat 8,7 juta spesies, 2,2 juta di antaranya hidup di laut.

Angka ini hanya mencakup eukariota, organisme bersel kompleks. Dari jumlah itu baru sekitar 1,1 juta atau 13% yang sudah berhasil diidentifikasi. Masih terdapat sekitar 86% spesies di darat dan udara, dan 91% spesies di laut yang perlu diketahui.

Tuhan menciptakan segala jenis makhluk dengan suatu tujuan, karena setiap spesies berperan penting dalam daur kehidupan.

Banyak kehidupan spesies bergantung pada hubungan simbiotik dengan spesies lain. Misal, pohon yang menyediakan sarang dan sumber pangan untuk semut, yang sebagai gantinya melindungi pohon dari serangga dan tetumbuhan yang merugikan inangnya.

Dari perspektif rantai makanan, setiap spesies terhubung dengan satu atau dua spesies lain. Misal: tetumbuhan – serangga – katak – tikus – ular.

Rantai makanan ini memberi konsekuensi bahwa kepunahan suatu spesies akan memunahkan spesies lain, atau sebaliknya meledakkan populasi suatu spesies. Keduanya berakibat buruk bagi keanekaragaman hayati.

Dalam hal bertahan hidup, banyak spesies tercipta hanya untuk habitat tertentu. Perubahan lingkungan (karena kerusakan) dapat memunahkannya.

Tuhan menciptakan sistem kehidupan yang saling terkait dan memengaruhi. Semakin banyak varian suatu spesies, semakin tinggi daya tahan spesies terhadap penyakit dan semakin besar kemungkinan kelangsungan hidupnya.

Semakin banyak varian suatu spesies, semakin tinggi kemungkinan keanekaragaman spesies. Semakin tinggi keanekaragaman spesies dalam suatu lingkungan, semakin stabil dan bermutu lingkungan hidupnya.

Lingkungan hidup yang bermutu tinggi semakin bagus dalam menyaring dan memurnikan udara dan air. Semakin bagus lingkungan hidup, semakin banyak produk bahan pangan, obat, dan zat esensial bagi manusia.

Keanekaragaman hayati dan kelestarian lingkungan adalah prasyarat agar segala ciptaan Tuhan dapat tetap berada sebagai bagian dari kehidupan.

Hal ini dapat dilakukan dengan banyak cara, seperti menghentikan perburuan binatang, membuat cagar alam, menghentikan pembabatan hutan, dan menghutankan kembali kawasan bekas hutan tropis.

(penghijauan kembali)

Bisa juga melalui perbuatan yang dilakukan sendiri, seperti menghentikan serta mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan.

Menjaga, memelihara, dan mempertahankan keanekaragaman hayati dan kelestarian lingkungan sama dengan memenuhi kehendak Tuhan, yang ketika menciptakannya melihat bahwa semuanya itu baik. —Heri Muliono

Menjaga kelestarian lingkungan berati kita ikut menjaga kehidupan.

* * *

Sumber: KristusHidup.com, 7/10/2012 (diedit seperlunya)

==========

Artikel Terbaru Blog Ini